Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang menarik di kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini memiliki ranah yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum adalah wilayah “hitam putih” yang salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik adalah ranah “kepentingan” sebagai corestone nya, “politic is a goal attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan. Politik menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan tujuannya maka cara itulah yang ditempuh. Yang menarik justru antara kedua topik yang berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan kerapkali diintervensi oleh kekuatan politik. Sepanjang sejarah Indonesia ternyata telah terjadi tolaktarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter ( non demokratis ). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter[1] .Sejalan dengan tolak-tarik konfigurasi politik itu, perkembangan karakter produk hukum memperlihatkan keterpengaruhannya dengan terjadinya tolak-tarik antara produk hukum yang berkarakter responsif dan produk hukum yang berkarakter konservatif dengan kecenderungan linear yang sama. Konsep demokratis dan otoriter ( non-demokratis ) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator yaitu sistem kepartaian, dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif, dan kebebasan pers sedangkan konsep hukum responsif/otonom diidentifikasi berdasarkan proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hukum[2]. Pada tataran realitas kedua topik tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya politik dapat mempengaruhi hukum. Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu: (1) Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (2) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dipendent variable atas politik. (3) Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium, “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.[3]
Pada kesimpulan akhir tulisanya Mahfud MD menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum yang lahir merupakan cerminan konfigurasi politik.
Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa politik sebagai independent variable secara ekstrem dibedakan atas politik yang demokratis dan politik yang otoriter, sedangkan hukum sebagai independent variable dibedakan atas hukum yang responsif dan hukum yang ortodoks. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks. Hubungan konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan hukum yang responsif dan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan hukum yang ortodoks memang benar sepanjang menyangkut politik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan. Namun terkadang konfigurasi politik yang otoriter sejauh menyangkut produk hukum privat dan tidak terkait dengan hubungan kekuasaan melahirkan hukum yang responsif. Ketika Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 gagasan demokrasi dalam kehidupan politik mendapatkan tempat yang sangat menonjol. BPUPKI dan PPKI saat itu sepakat untuk memilih demokrasi dalam kehidupan bernegara yang kemudian dituangkan dalam pembukaan dan batang tubuh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dari sini terlihat bahwa pada saat itu Indonesia dibentuk para pendiri yang mendambakan suatu negara hukum yang berasaskan demokrasi.
Hubungan Produk Hukum dan Konfigurasi Politik
PENJELASAN
1.1 Sejarah Konfigurasi Politik
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan pasang surut dan pasang naik secara bergantian anatara demokratis dart otoriter. Tarik menarik konfigurasi politik dengan karakter produk hukum yang berkarakter responsifpopulistik dan produk hukum yang berkarakter ortodoks-konservatif dengan kecenderungan linier yang sama. Rezim Orde Baru terutama pada 1967-1981 senantiasa curiga akan gerakan-gerakan Islam. Konfigurasi politik pada peciode ini cenderung otoriter dengan berbagai tipologi perpolitikan. Di tahun 1970-an ini lahir berbagai produk hukum seperti UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 tahun 1974 yang berkarakter ortodoks/konservatif atau elitis. Pada saat slap akomodatif (1985-1998) antara Islam dari negara maka pada era ini lahir Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama maka karakter produk hukum ini bisa dikatakan berkarakter responsif/populistik. Era Reformasi, konfigurasi politik yang tampil adalah demolantis dengan terlibatnya seluruh komponen masyarakat dalarn pembentukan UU No. 4 tahun 2004 maka produk hukum ini berkarakter responsi populistik. Setiap produk hukum merupakan pencerminan dari konfigurasi politik yang melahirkannya. Karakter produk hukum sangat ditentukan oleh visi politik yang berkembang dimasyarakat. Semakin demokratis suatu rezim, semakin responsif dan aspiratif produk hukum yang dihasilkan dan sebaliknya. Karena itu setiap produk hukum yang berkarakter responsif/populistik akan mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih demokratis.[4]
1.2 Definisi Konfigurasi Politik
Konfigurasi politik, menurut Dr. Moh. Mahfud MD, S, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter
1.3 Indikator Konfigurasi Politik
Konfigurasi politik mempunyai beberapa indicator yang berisi jenis-jenis dari konfigurasi politik antara lain:
- Konfigurasi Politik Demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut menentukan kebijakan negara. Di dalam konfigurasi yang demikian pemerintah lebih merupakan “ komite “ yang harus melaksanakan kehendak-kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan partai politik berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam pembuatan kebijakan negara.
- Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi sangat dominan dengan sifat yang intervensi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan justifikasi ( rubber stamps ) atas kehendak pemerintah
- Produk Hukum Responsif/Otonom adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan pemenuhan atas tuntutan-tuntutan baik individu maupun berbagai kelompok sosial di dalam masyarakat sehingga lebih mampu mencerminkan rasa keadilan di dalam masyarakat. Proses pembuatan hukum responsif ini mengundang secara terbuka partisipasi dan aspirasi masyarakat dan lembaga peradilan, hukum diberi fungsi sebagai alat pelaksana bagi kehendak masyarakat, sedangkan rumusannya biasanya cukup rinci sehingga tidak terbuka untuk dapat diinterpretasi berdasarkan kehendak dan visi pemerintah sendiri.
- Produk Hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Biasanya bersifat formalitas sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah [5]
Selama masa orde baru Golkar berhasil menjadi kekuatan politik di Indonesia. Dalam fenomena ini dapat dilihat bahwa Soeharto merupakan pilar utama kekuatan Golkar pada saat itu, ditambah birokrasi dan ABRI, terbukti dalam kemenangan Golkar yang selalu tampil menjadi mayoritas tunggal dalam pemilu dan dalam parlemen pada 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.Golkar pada masa Orde Baru juga berperan sebagai partai hegemoni yang mempunyai peran yang cukup besar dalam implementasi Pemerintahan daerah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1974. Sejak Golongan Karya (Golkar) memenangkan Pemilihan Umum tahun 1971 Golkar menjadi pemegang agenda politik secara tunggal di Indonesia. Dari sejak itu pula tercipta apa yang di istilahkan Sistem kepartaian yang Hegemonik Sebagai partai hegemoni, Golkar punya keunikan, yakni bukan partai kader dan partai masa (oleh sebab itu dulunya Golkar tidak mau disebut partai). Partai hegemonik tidak diciptakan dan dikembangkan oleh kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat sebagaimana partai masa dan partai kader, tetapi di bangun oleh pemerintah. Partai hegemonik mempunyai faksi-faksi dalam dirinya yang terdiri dari Faksi militer dan birokrasi. Kedua faksi ini secara bersamaan berfungsi sebagai politbiru yang mengontrol kebijakan-kebijakan partai.
Posisi Golkar disini memang sebagai alat penopang kekuasaan pemerintahan kala itu. Semua kebijakan Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh militer, birokrasi dan termasuk Golkar. Selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, Golkar menduduki jabatan-jabatan penting mulai dari eksekutif, legislatif dan yudikatif termasuk hingga sampai kepada lembaga-lembaga struktur di daerah-daerah. Hal ini sangat wajar karena Golkar sebagai partai hegemoni dan setiap pemilihan di masa Orde Baru Golkar selalu menjadi partai pemenang dalam Pemilihan Umum. Struktur lembaga legislatif yang amat di dominasi Golkar yang hampir tak terpisahkan dari Birokrasi ABRI telah menyebabkan kungkungan birokrasi terhadap lembaga legislatif ( baik di pusat maupun daerah ) terlalu kuat untuk dilawan dan diabaikan.
Kehadiran Golkar ataupun aparat militer di dalam kelembagaan pemerintah merupakan hasil dari pilihan rakyat, namun demikian tetap saja pilihan tersebut merupakan suatu pilihan yang sebenarnya sudah diatur dengan sedemikian rupa oleh pemerintah yang berkuasa, sehingga Partai Golkar lah yang selalu menang. Sehingga jika dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang pelaksanaan daerah akan membuat penyelenggaraan didaerah akan lebih baik dan tidak bersifat sentralistik, hal tersebut tidak akan terealisasi secara maksimal. Hal ini dapat kita lihat dalam struktur-struktur lembaga-lemabaga pemerintahan daerah yang didalamnya masih di dominasi oleh orang-orang dari partai Golkar dan aparat militer (Mulai dari DPRD, kepala daerah, wakil hingga sekretaris daerah).
Akibatnya fungsionaris-fungsionaris birokrasi ini sukar untuk diharapkan berbeda dengan birokrasi. Dalam masalah pertanggung jawaban dan pelaporan hasil pelaksanaan pemerintahan daerah, semuanya masih harus bergantung dari pemerintah pusat. Jika dari sistem hingga aparat pemerintahannya semua berdasarkan dari pusat maka dalam pelaksanaannya pun tidak akan jauh-jauh sesuai dengan kehendak pemerintah Pusat.
Dalam undang-undang No.5 Tahun 1974 menetapkan bahwa kepala daerah menurut hierarki bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRD melainkan hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pemerintah daerah yang dipimpinnya agar DPRD sebagai salah satu unsur pemerintah daerah dapat selalu mengikuti dan mengawasi jalannya pemerintahan daerah. Dari sini dapat terlihat bahwa meskipun lembaga DPRD ada sebagai wakil rakyat tetap saja tidak mempunyai peranan penting dalam penentuan suatu keputusan. Untuk melihat hasil suatu pelaksanaan pemerintahan saja, DPRD hanya di beri hak untuk meminta keterangan selanjutnya keputusan harus berdasarkan atas persetujuan Presiden melalui Menteri Dalam Negerinya. apalagi dalam Struktur DPR dan DPRD yang terlihat kurang terpisah dengan birokrasi. Prosedur pemilihan anggota-anggota kedua lembaga tersebut di ambil melalui pengajuan daftar nama oleh partai kemudian dihadapkan pula oleh Golkar yang merupakan Partai hegemoni telah menyebabkan lembaga legislatif serta lembaga-lembaga lainnya maupun aparat pemerintahan lainnya (Gubernur, Bupati, Sekretaris Daerah dsb.) menjadikan kehilangan arti sebagai lembaga perwakilan rakyat dan ataupun aparat yang bekerja untuk rakyat. Semuanya hanya bekerja dan menyelesaikan tanggung jawabnya untuk Presiden.
Mencermati Arah Politik Hukum dan Produk Hukum Responsif Pada Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Dalam konsep berhukum, Philippe Nonet dan Philip Selznick:
1.Hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif);
- Hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom); dan
- Hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif)[6]
Titik berat dari konsep berhukum yang dikemukakan oleh Nonet dan Selznick tersebut adalah aspek Jurisprudence and Social Sciences dengan bertumpu pada Sociological Jurisprudenc.
Tujuan hukum represif menurut Nonet dan Selznick adalah ketertiban. Peraturan perundang-undangan pada hukum represif bersifat keras dan rinci, namun tingkat keberlakuannya pada pembuat hukum sangat lemah[7]. Contoh hukum represif yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto yaitu hukum yang menyalahi moral konstitusionalisme yang pengelolaan hukumnya berada di tangan para pejabat pemerintah dan digunakan sebagai instrumen legal untuk menjamin keutuhan dan keefektifan kekuasaan pemerintah berdasarkan sanksi-sanksi pemaksa. Tipe hukum represif banyak mengandalkan penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di pihak rakyat.
Pada hukum otonom, peraturan perundang-undangan dibuat luas dan terinci serta mengikat penguasa maupun yang dikuasai. Tujuan dari hukum otonom adalah sebuah legitimasi. Sifat-sifat dari hukum otonom adalah penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi, serta adanya manipulasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi.
Pada tataran hukum responsif, tujuan hukum yang hendak dicapai adalah kompetensi. Pada perspektif hukum responsif, hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, mampu mengenali keinginan publik dan memiliki komitmen bagi tercapainya keadilan substantif. Hukum responsif merupakan hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatan produk hukum responsif, kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat diberikan peranan besar dan partisipasi penuh. Hasil dari proses tersebut adalah produk hukum yang bersifat respon terhadap seluruh kepentingan, baik masyarakat maupun Pemerintah. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah:
- Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan;
- pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, yaitu pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi atau dipaksakan. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam model hukum responsif ini, mereka menyatakan ketidaksetujuan terhadap doktrin yang dianggap mereka sebagai interpretasi yang baku dan tidak fleksibel. [8]Menurut Satjcipto Rahardjo, hukum responsif merupakan hukum yang lebih peka terhadap masyarakat dalam upaya mewujudkan kepastian hukum, perlindungan hukum, dan keadilan dalam[9].
Untuk mencermati arah politik hukum bangsa ini, kita coba melihat ke salah satu peraturan perundang-undangan di negara ini, yaitu Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 hanyalah merupakan sebagai alat atau sarana, tetapi di dalamnya terletak hakikat supremasi hukum, sebab kebijakan sebagai alat di dalam pengetian itu adalah alat untuk mencapai tujuan negara, bahkan alat rekayasa politik (political engineering). Hukum bukan semata-mata alat rekayasa politik atau instrumen untuk mendukung kemauan penguasa, tetapi hukum menjadi sentral pengarah dan pedoman upaya mencapai tujuan negara. Di sinilah makna supremasi hukum.[10]
Saksi dan koban menjadi elemen penting untuk membantu lembaga peradilan mewujudkan supremasi hukum. Keterangan saksi dan korban membantu mengakselerasikan tuntutan rasa keadilan bagi korban kekejaman suatu rezim masa lalu. Permasalahannya ketika saksi dan korban memberikan keterangan, mereka trauma dan takut untuk menjelaskan tentang apa yang terjadi. Mereka beranggapan ketidakgunaan untuk memberikan kesaksiaan, disamping ketakutan apabila mereka bersaksi tanpa disertai dengan proses perlindungan dari negara terhadap dirinya dan keluarga mereka. Tuntutan seperti ini, pada akhirnya membawa konsekuensi pasti bahwa negara harus mampu membantu proses ini. Salah satunya adalah dengan jalan menyediakan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang merupakan wujud dari apresiasi atas peran sertanya dalam proses peradilan pidana.
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis UU PSK) pada awalnya adalah amanat yang didasarkan kepada TAP MPR No. VIII Tahun 2001 tentang Rekomendasi Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan bahwa perlu adanya sebuah undang-undang yang mengatur tentang perlindungan saksi dan korban. Seperti yang sudah diketahui, untuk mencermati arah politik hukum dari UU PSK ini maka perlu dilihat beberapa ketentuan yang mengarah kepada politik hukum baik yang bersifat positif (responsif) maupun yang bersifat negative (konservatif), antara lain sebagai berikut;
Arah politik hukum yang bersifat positif (responsif) yang tertuang di dalam UU PSK :
Dengan disahkannya UU PSK ini, adanya suatu peraturan yang mengakomodasi perlindungan ( payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia, yang mana sama-sama kita ketahui bahwa saksi dan korban menjadi elemen penting untuk membantu tercapainya tuntutan keadilan di dalam sistem peradilan terpadu (integrated justice system).
UU PSK tidak saja sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan saksi dan korban, tetapi juga diberikan sarana perlindungan yang sama terhadap keluarga saksi dan korban. Hal ini memberikan dampak positif karena cakupan perlindungan tidak saja sebatas saksi dan korban melainkan juga terhadap keluarga saksi dan korban.
Di dalam UU PSK ini terdapatnya materi pasal-pasal yang mengatur untuk dibentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (selanjutnya ditulis LPSK) (Pasal 11-27 UU PSK) yang akan melaksanakan tugas terhadap terpenuhinya hak-hak saksi dan pemberian perlindungan terhadap saksi. Dengan adanya LPSK tersebut diharapkan hak-hak saksi yang selama ini telah diatur secara normatif, dapat diwujudkan dalam praktiknya. Begitu juga terhadap saksi yang selama ini terkendala oleh tidak jelasnya lembaga yang akan dan bertanggung jawab melakukan perlindungan tersebut.
UU PSK memberikan kejelasan dan kepastian tentang hak-hak saksi dan korban pada saat sebelum, sedang, dan setelah saksi dan korban memberikan keterangannya. Yang mana hal ini terdapat di dalam Pasal 5 sampai Pasal 10. Semua kejelasan yang terdapat di dalam pasal-pasal tersebut akan terealisasikan melalui LPSK.
Kesimpulan :
Secara umum pembentukan UU PSK ini bertujuan baik yaitu sebagai sarana untuk mengakomodasi perlindungan (payung hukum) terhadap saksi dan korban dalam sistem peradilan terpadu di Indonesia yang selama ini saksi dan korban tidak merasa terlindungi. Untuk itu, dengan adanya UU PSK ini melalui LPSK nantinya akan dapat merealisasikan segala apa yang menjadi hak-hak dari pada saksi dan korban untuk mendapatkan perlindungan baik dari ancaman, keamanan maupun jiwa mereka. Dengan demikian UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan tipe undang-undang/hukum yang bersifat responsif.
Mencermati Arah Politik Hukum dan Produk Hukum Konservatif Pada Keppres NOMOR 30 Tahun 1977 Tentang tata cara pengangkatan anggota tambahan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan rakyat dari Golongan Karya Abri dan Golongan Karya bukan ABRI.
Pasal 3
(1) Calon Anggota Tambahan MPR dan Anggota DPR dari Golongan karya ABRI diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata, sebanyak-banyaknya masing-masing
Pada pasal 3 pada “KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1977” tentang tata cara pengangkatan anggota tambahan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan rakyat dari Golongan Karya Abri dan Golongan Karya bukan ABRI. Melihat dari penyimpangan Keppres ini secara tekstual pun sudah terlihat bahwa keberpihakan pemerintah pada saat keppres ini muncul yaitu pada zaman Orde baru. Disini kami melihat bahwa Keppres ini sangat bertentangan pada prinsip demokrasi dimana suatu produk hukum yang di keluarkan oleh pemerintah harus berdasarkan pada prinsip demokrasi.
Dimana walaupun Keppres dikeluarkan oleh Presiden merupakan hal yang dibolehkan didalam UU karena tercantum dalam hirarki pada saat itu dikeluarkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia disingkat TAP MPRS No.XX/MPRS/1966. Dalam lampiran II (pokok Pikiran IIA) TAP MPRS tersebut disebutkan Bentuk dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 :
- Undang-undang Dasar 1945 peraturan perundang-undangan yang tertinggi, yang pelaksanaannya dengan ketetepan MPR, atau keputusan presiden
- Ketetapan MPR. Menurut TAP MPR No. I/MPR/1973 tentang Tata Tertib MPR, bentuk keputusan MPR ada dua macam, yaitu TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang legislatif yang dilaksanakan dengan undang-undang dan TAP MPR yang memuat garis-garis besar dalam bidang eksekutif yang dilaksanakan dengan keputusan presiden.
- Undang-undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk melaksanakan UUD atau TAP MPR. Dalam kepentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan sebagai pengganti undang-undang. Peraturan ini harus mendapat persetujuan DPR. (Pasal 22 ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945)
- Peraturan Pemerintah yang memuat aturan-aturan umum untuk melaksanakan undang-undang
- Keputusan Presiden. Ini merupakan keputusan yang bersifat khusus (einmalig) untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan UUD, TAP MPR dalam bidang eksekutif atau peraturan pemerintah
- Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
*Peraturan Menteri;
*Instruksi Menteri;
*Dan lain-lain-nya..
Artinya secara legal yuridis dikeluarkan suatu Keputusan Presiden dalam ikhwal tertentu diperbolehkan dan telah didukung oleh asas legalitas berupa dicantumkannya pada hirarki perundang-undangan, akan tetapi kami memandang bahwa walaupun dalam hal keputusan presiden ini merupakan suatu produk hukum yang dibuat oleh satu pihak saja dalam hal ini Presiden merupakan pihak tunggal pembuatan kebijakan tetap harus berlandaskan asas demokrasi dimana keputusan yang dikeluarkan dimaksudkan dan diorierntasikan tetap kepada rakyat walaupun dalam proses pembentukannya tidak melibatkan DPR yang merupakan representasi rakyat keputusan tetap tidak boleh subjektif dari Presiden akan tetapi harus ditujukan untuk kemashlahatan masyarakat. Kehadiran MPR dan DPR pada orde baru mencerminkan bahwa adanya upaya untuk membuat benteng kekuasaan konstitusional dimana lembaga legislative disiasati bagaimanapun caranya untuk bisa memuluskan kehendak Presiden dan memperkuat kedudukan Presiden secara konstitusional berupa UU dan peraturan lainnya. Salah satunya dengan Keppres No 30 tahun 1977 yang sangat mencerminkan hukum konservatif berdasarkan analisa kami. Dimana Produk Hukum Konservatif/Ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Biasanya bersifat formalitas sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah [11]
Golkar dalam hal ini mendapatkan tempat istemwa oleh Presiden Soeharto bukannya tidak beralasan akan tetapi, dalam hal ini Soeharto menggunakan Golkar sebagai pertahanan ditingkatan parlemen untuk mereduksi pengaruh komunisme di Indonesia. Golkar sendiri pada masa awal berdirinya terdiri dari beberapa organisasi seperti SOKSI (Sentra Organisasi Karyawan Seluruh Indonesia), GAKARI (Gerakan Karyawan Republik Indonesia), BPPK (Badan Pembina Potensi Karya), KASGORO (Koperasi Simpan Gotong Royong), dan MKGR (Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong), Ormas Pertahanan dan Keamanan, Gerakan Pembangunan. Dalam hal ini masing-masing organisasi tersebut kemudian menjadi pusat kekuatan untuk menghimpun kekuatan masyarakat dan implementasi kebijakan mereka. Pada waktu itu Golkar dikenal dengan sebutan Sekber Golkar karena berhasil menghimpun kekuatan dari berbagai organisasi pemuda, buruh, petani, nelayan, militer dan berbagai macam organisasi lainnya untuk mereduksi kekuatan PKI di Indonesia.
Sebab yang melatar belakangi dominasi Golkar di Parlmen pun jelas di terangkan oleh Mahfud MD menjelaskan bahwa fakta dibalik penundaan penyelenggaraan pemilu pada tahun 1968 (yang ditunda menjadi 1971) merupakan hasil dari sebuah kesepakatan kompromis pemerintah dengan partai politik peserta pemilu 1968[12]. Adapun kesepakatan yang dimaksud oleh Mafhud MD dalam hal ini terdiri dari dua hal, yakni pertama pemeberian hak partai politik kepada pemerintah untuk mengangkat anggota MPR dan 100 orang anggota DPR, kedua sebagai bentuk konsekuensi yang diberikan pemerintah terhadap partai politik peserta pemilu 1971, pemerintahan memperkenankan penyelenggaraan pemilu secara proporsional. Hal inilah yang dikatakan Mahfud secara tegas sebagai sebuah kemenangan pemerintah atas partai politik secara struktural pemerintahan. Kemenangan tersebut kemudian tergambarkan jelas dengan melihat dominasi Golkar di parlemen pasca pemilu yang diselenggarakan pada tahun 1971.
Dan kami melihat kekuatan Golkar dalam hal ini partai yang menyokong kekuasaan Soeharto juga sangat cerdik dalam menanamkan kekuasaannya selain dari sisi konstitusinya di Indonesia salah satunya dimana banyak PNS yang tidak bersedia memilih Golkar kemudian harus rela disingkirkan dari karirnya. Begitu pula dengan kepala desa yang tidak bersedia, mengalami nasib yang tidak jauh berbeda. Kemenangan Golkar pada beberapa Pemilu memperlihatkan ketangguhan Golkar pada tingkat nasional maupun tingkat lokal selama Pemerintah Orde Baru. Fakta sejarah itu sangat menarik untuk dikaji terutama pada tingkat lokal yang merupakan basis massa partai politik di tingkatan akar rumput (grass root) yang juga menjadi bagian dari kompetisi politik Golkar dengan partai-partai politik lain peserta. Dalam hal ini sepanjang Pemilu Orde Baru, Golkar dengan kondisi riil (ditengah tantangan potensi kekuatan politik Islam) tersebut mampu keluar sebagai pemenang dengan perolehan angka di atas 50%.
Pada periode ini, atas dasar logika pembangunan yang menekankan pada bidang ekonomi dan paradigma pertumbuhan, konfigurasi politik didesain untuk negara kuat yang mampu menjamin dan membentuk negara kuat[13]. Pada awalnya Orde Baru memulai langkahnya secara demokratis, tetapi secara pasti lamakelamaan membentuk konfigurasi politik yang cenderung otoriter. Konfigurasi Politik Otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan pemerintah pada posisi sangat dominan dengan sifat yang intervensi dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan negara sehingga potensi dan aspirasi masyarakat teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Bahkan, dengan peran pemerintah yang sangat dominan, badan perwakilan rakyat dan partai politik tidak berfungsi dengan baik dan lebih merupakan justifikasi ( rubber stamps ) atas kehendak pemerintah. [14]Eksekutif sangat dominan, kehidupan pers dikendalikan, legislatif dicirikan sebagai lembaga yang lemah karena di dalamnya telah ditanamkan tangan-tangan eksekutif melalui Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.[15]
Dominasi Golkar dalam hal ini tidak berjalan sendiri karena terdapat kelompok berkekua yang mendukungnya, yaitu militer dan birokrasi. Dalam kiprah politiknya selama Orde Baru, pengaruh militer sangat dalam terhadap Golkar. Dewan pembina yang memiliki kekuasaan sangat besar ketika itu diduduki Presiden Soeharto yang merupakan personifikasi dari kekuatan militer Indonesia. Disamping itu sebagai penguasa pemerintahan, Soeharto juga secara tidak langsung berkuasa atas para birokrat beserta jajarannya (bahkan hingga lingkaran keluarga birokrasi). Hal inilah yang menunjukan sinergisitas pengelolaan kekuasaan yang dilakukan oleh Golkar untuk menghegemoni kekuatan politik di Indonesia pada era Orde Baru. Berdasarkan dengan katar belakang demikian kami melihat dari struktur pemerintahan sangat tercermin bentuk pemerintahan otoriter yang tentu akan menghasilkan produk hukum konservatif.
Penggunaan kata “Golkar dan ABRI” pada bunyi Keppres No 30 tahun 1977 ini memperkuat analisa kami yang menyatakan bahwa Golkar dan ABRI merupakan tongkat kekuasaan inti Presiden Soeharto dan sejalan dengan pemikiran Muslim Mufti bahwa aktivitas politik pada zaman orde baru didominasi oleh ABRI, Birokrat, dan Golkar sebagai sebuah kekuatan politik nasional[16]. Penyimpangan Keppres No. 30 Tahun 1977 ini juga menurut kami menyalahi penjiwaan Pancasila dalam pengimplementasi penyelenggaraan negara dimana aspek Keadilan dan Musyawarah yang ditanamkan oleh Pancasila telah dilanggar oleh Pemerintahan Orde Baru. Dan sebagaimana teori Pancasila merupakan bintang pemandu yang berfungsi menguji dan memberi arah bagi hukum positif. Nilai-nilai Pancasila mempunyai fungsi konstitusif yang menentukan apakah tata hukum Indonesia merupakan tata hukum yang benar, serta mempunyai fungsi regulatif yang menentukan apakah hukum positif di Indonesia merupakan hukum yang adil atau tidak.[17]
Penggunaan Keputusan Presiden secara teori dibenarkan karena urgensinya dalam suatu hal mendesak atau dalam kegentingan memaksa sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul disaat pranata hukum tidak dimungkinkan dijalankan dan dikhawatirkan apabila permasalahan tidak di selesaikan akan semakin membahayakan negara. Dalam praktik penyelenggaraan negara atau pemerintahan sering terjadi hal-hal yang tidak normal dalam menata kehidupan kenegaraan, di mana sistem hukum yang biasa digunakan tidak mampu mengakomodasi kepentingan negara atau masyarakat sehingga memerlukan pengaturan tersendiri untuk menggerakkan fungsi-fungsi negara agar dapat berjalan secara efektif guna menjamin penghormatan kepada negara dan pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Dengan demikian maka penggunaan perangkat hukum biasa sejak semula haruslah mengantisipasi berbagai kemungkinan keadaan yang bersifat tidak normal agar negara dapat menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Untuk mengantisipasi keadaan tersebut, maka di Indonesia secara konstitusional telah diletakkan pengaturannya dalam Pasal 22 UUD 1945, sebagai berikut:
(1) dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(2) peraturan Pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut;
(3) jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut di atas sangat diperlukan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah, yang memaksa pemerintah untuk bertindak cepat dan tepat.
Munculnya Keppres didasari dari Penggunaan Pasal 12 UUD 1945 lebih berfokus pada kewenangan Presiden selaku kepala negara untuk menyelamatkan bangsa dan negara dari gangguan luar negara, sedangkan penggunaan Pasal 22 UUD 1945 berada pada ranah (domain) pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu. Dengan demikian lebih menekankan dari aspek internal negara berupa kebutuhan hukum yang bersifat mendesak[18]. Itulah sebabnya maka apabila dicermati ketentuan UUD 1945 maka terdapat 3 (tiga) unsur penting secara bersama-sama (kumulatif) yang membentuk pengertian keadaan darurat bagi negara (state of emergency) yang menimbulkan kegentingan yang memaksa, yaitu: pertama, unsur adanya ancaman yang membahayakan (dangerous threat); kedua, unsur adanya kebutuhan yang mengharuskan (reasonable neccesity), dan ketiga, unsur adanya keterbatasan waktu (limited time) yang tersedia.[19]
Syarat dikeluarkan Keppres atau Perppu sebenarnya harus memenuhi syarat-syarat yang ada dikarenakan sensifitas dari keputusan tunggal Presiden ini sangat besar pengaruhnya terutama menentukan hasil dari produk hukum itu kelak apakah responsive atau konservatif. Munculnya Keppres No 30 tahun 1977 ini sangat jelas mementingkan golongan dalam hal ini Golongan Karya dan ABRI. Akan tetapi tidak bisa menampikan bahwa hal pembentukan Keppres/Pepperpu dengan tujuan untuk kepentingan Presiden dan kroninya atau hanya untuk kepentingan segelintir golongan saja memang bisa terjadi, sebab sebagaimana dikatakan oleh Imran Juhaefah, dalam ketentuan UUD 1945 perihal keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang memaksa sebagai suatu keadaan darurat negara (state of emergency) tidak ditemukan landasan hukumnya yang tepat. [20]
Daftar Pustaka
- Moh.Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media, 1999,
- Mahfud . 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media.
- Moeljarto T., Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987
- Amir Effendi Sitegat, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta : Karya Unipress, 1983
- Mufti, Muslim. 2013. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
- Attamimi, A Hamid S., 1991, ”Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia”, BP 7 Pusat, Jakarta, 1991
- Imran Juhaefah, Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Sebagai Landasan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Disertasi, Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia, Makassar, 2011,
- Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Penerbit PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007
- Moh.Mahfud, “ Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoretis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989
- Candra, Anton Afrizal., ” Politik hukum dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Orde Baru dan era reformasi tentang eksistensi peradilan agama di Indonesia”, Perpustakaan Fakultas Hukum, UI, 2004
- Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and So- ciety Transtition: Toward Responsive Law”, dalam Satya Arinanto, “Politik Hukum 2”, Kumpulan Makalah Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana FH UIEU, Jakarta, 2001.
- Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003
- Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal 119
[1] Moh.Mahfud, “ Tampilnya Negara Kuat Orde Baru, Studi Teoretis dan Konstitusional tentang Perkembangan Peranan Negara di Indonesia,” tesis S-2 Ilmu Politik, Fakultas Pascasarjana UGM, 1989, hal.169.
[2] Moh.Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal.11.
[3]Moh. Mahfud, MD., Ibid., Hlm. 11-12
[4] Candra, Anton Afrizal., ” Politik hukum dalam peraturan perundang-undangan pemerintahan Orde Baru dan era reformasi tentang eksistensi peradilan agama di Indonesia”, Perpustakaan Fakultas Hukum, UI, 2004, hlm. 3
[5] Moh.Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum…, Op.Cit., hal.8-9
[6] Philippe Nonet and Philip Selznick, “Law and So- ciety Transtition: Toward Responsive Law”, dalam Satya Arinanto, “Politik Hukum 2”, Kumpulan Makalah Kuliah Politik Hukum, Program Pascasarjana FH UIEU, Jakarta, 2001.
[7] Philippe Nonet dan Philip Selznick, 1978. Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi, (Terj. Rafael Edy Bosco), HuMa, Jakarta, 2003
[8] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal 119
[9] Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
[10] Moh. Mahfud MD., “Refleksi Fakultas Hukum UGM Terhadap Kondisi Hukum Indonesia, Makalah yang dipresentasikan di Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 16 Pebruari 2009.
[11] Moh.Mahfud, Pergulatan Poliik dan Hukum di Indonesia,Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal.8-9
[12] Mahfud. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media. hal. 232
[13] Moeljarto T., Politik Pembangunan Sebuah Analisis Konsep, Arah dan Strategi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987, hal.106
[14] Moh.Mahfud, Pergulatan Poliik dan Hukum…, Loc.Cit.
[15] Amir Effendi Sitegat, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Jakarta : Karya Unipress, 1983, hal.32
[16] Mufti, Muslim. 2013. Kekuatan Politik di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
[17] Attamimi, A Hamid S., 1991, ”Pancasila Cita Hukum dalam Kehidupan Hukum Bangsa Indonesia”, BP 7 Pusat, Jakarta, 1991. Hal. 24
[18] Imran Juhaefah, Hal Ihwal Kegentingan Yang Memaksa Sebagai Landasan Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Disertasi, Pascasarjana Universitas Muslim Indonesia, Makassar, 2011, halaman 11-12
[19] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Penerbit PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.207
[20] Imran Juhaefah, Op.cit., halaman 10
Mengapa Harus memilih KHK Law Office sebagai Advokat/Pengacara di Yogyakarta?
- Pelayanan Simple dan Cepat.
- Expert/Ahli dan Terpercaya. Kami KHK Law Office telah berpengalaman dan tentunya ahli dibidangnya serta dapat dipercaya.
- Harga Terjangkau dan layanan 24 Jam. Dengan harga terjangkau, namun pelayanan tetap yang terbaik. Dan tentunya, layanan konsultasi hukum 24 jam.
Wilayah hukum diluar Kalimantan, Jasa Pengacara Jogja: