Tindak perilaku korupsi akhir-akhir ramai di perbincangkan, baik di media massa maupun maupun media cetak. Tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime Tindak korupsi ini mayoritas dilakukan oleh para pejabat tinggi negara yang sesungguhnya dipercaya oleh masyarakat luas untuk memajukan kesejahteraan rakyat sekarang malah merugikan negara.

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagaisuatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.

 Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tak terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  1. Realita

Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tak terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan seluruh potensi yang ada di dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

     Tingkat korupsi di Negara Indonesia sudah teramat parah bahkan menurut hasil penelitian Transparancy International, selama 5  (lima) tahun berturut-turut mulai Tahun 1995 sampai dengan Tahun 2000, Indonesia selalu menduduki posisi 10 (sepuluh) besar negara paling korup di dunia. Berdasarkan penelitian Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Tahun 1997, Indonesia menempati posisi negara terkorup di Asia. Dan pada Tahun 2001 peringkat Indonesia menjadi negara terkorup ke-2 di Asia setelah Vietnam[1]

     Korupsi di Indonesia saat ini sudah sampai pada titik yang tidak dapat ditolelir. Begitu mengakat (membudaya) dan sistematis. Kerugian Negara atas menjamurnya praktek korupsi sudah tidak terhitung lagi. Jika tahun 1993 Soemitro Dojohadikusumo menyebutkan bahwa kebocoran dana pembangunan antara tahun 1989-1993 sekitar 30 %  dan hasil penelitian World Bank bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45 %, maka saat ini sepertinya jumlah tersebut sudah meningkat drastic. Hal tersebut menyebabkan munculnya istilah bahwa korupsi sudah menjadi extra ordinary crime[2]

          Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.

          Meningkatnya Tindak Pidana Korupsi yang terkendali akan membawa bencana, tidak hanya bagi perekonomian nasional melainkan juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil survei Transvaransi Internasional Indonesia (TII) menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara paling korup nomor 6 (enam) dari 133 negara. Di kawasan Asia, Bangladesh dan Myanmar lebih korup dibandingkan Indonesia. Nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK), ternyata Indonesia lebih rendah dari pada negara Papua Nugini, Vietnam, Philipina, Malaysia dan Singapura. Sedangkan pada tingkat dunia, negara-negara yang ber-IPK lebih buruk dari Indonesia merupakan negara yang sedang mengalami konflik          [3]

          Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya. Selain itu korupsi dapat  disebut juga sebagai dosa sosial dimana sebuah dosa atau kejahatan yang dilakukan dan berdampak bagi banyak orang, nilai kedosaan jauh lebih besar ketimbang dosa yang sifatnya personal.[4]

Akar permasalahan Korupsi sebenarnya dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, Kebutuhan bisnis yang kadang memerlukan keterlibatan birokrasi terkait urusan legal dan berbagai hal yang memang merupakan kewajiban dari pelaku bisnis yang biasanya menyangkut  perizinan, seakan menjadi pucuk permasalahan , sedangkan proses birokrasi relatif lambat, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan uang pelicin (uang sogok) yang mana pemberian uang pelican ini diharapkan dapat mempercepat proses birokrasi sehingga tidak menghambat iklim bisnis dari perusahaan yang memang biasanya memerlukan tingkat efisiensi waktu yang tinggi agar memaksimalkan kinerjanya.

Korupsi merupakan hal yang serius karena tindak pidana ini dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat. Sebagian masyarakat yang menyatakan korupsi merupaka hal yang memalukan bagi negara. Mereka yang melakukan korupsi seenak-enaknya menghamburkan uang yang merugikan ekonomi negara yang kadang menuai kerugian yang terbilang tidak sedikit bagi perekonomian negara. Keadaan korupsi di Indonesia yang juga menginfeksi nilai-nilai demokrasi dan moralitas serta membahayakan pembangunan sosial ekonomi karena keuangan negara secara otomatis akan mengalami kerugian.

Suburnya korupsi di Indonesia tidak dapat dikatakan hanya mengendap dan mengerucut hanya diwilayah birokrasi akan tetapi kenyataannya banyak kasus korupsi di Indonesia yang melibatkan petinggi negara yang notabene merupakan pucuk tertinggi kekuasaan kehakiman yang diamanatkan oleh konstitusi bahkan tidak luput dari kasus korupsi. Apabila bercermin pada kasus tertangkapnya seorang pejabat di Mahkamah Agung (MA), Agung Andri Tristianto (AAT) berikut seorang pengusaha (Ichsan Suaidi) dan kuasa hukum (Awang Lazuardi Embat), melalui operasi tangkap tangan (OTT) KPK terkait dengan korupsi proyek pembangunan dermaga Labuhan Haji di Lombok Timur (NTB), kembali mencoreng citra dari benteng penjaga keadilan yang tertinggi. Dan apabila sedikit menarik mundur kasus korupsi yang tak kalah memalukan adalah Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar oleh KPK terkait dugaan suap kasus Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah dan Pilkada Lebak, Banten yang turut diberitakan oleh berbagai media luar negeri. Apakah sebagai rakyat Indonesia hal ini bukan merupakan suatu hal yang sangat memalukan untuk diberitakan oleh media Internasional? Hal ini saya rasa membuktikan putusan hukum yang sudah berketetapan dengan substansi memperkuat hukuman bagi para koruptor pun ternyata bisa dimainkan pejabat yang menangani administrasinya.

Tidak mengherankan kalau tidak sedikit di antara pejabatnya yang miliki kekayaan materi jauh melebihi rasio gaji normal baik sebagai PNS maupun hakim agungnya.

  1. Dampak

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin yakni semakin mahalnya harga jasa berbagai pelayanan publik, rendahnya kualitas pelayanan, dan juga sering terjadinya pembatasan akses terhadap berbagai pelayanan vital seperti air, kesehatan, dan pendidikan. Kedua, dampak tidak langsung terhadap orang miskin yakni pengalihan sumber daya milik publik untuk kepentingan pribadi dan kelompok, yang seharusnya diperuntukkan guna kemajuan sektor sosial dan orang miskin, melalui pembatasan pembangunan.  Didalam prakteknya pembatasan-pembatasan ini yang membuat orang miskin semakin miskin yang kaya semakin kaya, karena pembatasan ini biasanya erat kaitannya dengan kepentingan suatu kelompok sehingga disini ada ketidak seimbangan skala prioritas sehingga efek pembatasan ini membawa ketidak seimbangan sosial. Terutama Dampak yang tidak langsung ini umumnya memiliki pengaruh atas langgengnya sebuah kemiskinan.
Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan luntur. Jika pemerintahan justru memakmurkan praktik korupsi, maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintahan. Artinya disini efek penghancuran akibat korupsi juga dirasakan oleh internal negara dalam hal ini pemerintah.
Betapa besarnya dampak korupsi ini dirasa sangat mengganggu efektifitas berjalannya suatu negara. Karenanya, praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan masyarakat. Korupsi yang menjangkiti kalangan elit turut memaksa masyarakat yang sejatinya tidak menginginkannya terpaksa menganut berbagai praktik di bawah meja demi mempertahankan diri.  Mereka pun terpaksa melakukan korupsi agar mendapat bagian yang wajar, bukan untuk mencapai berbagai keuntungan luar biasa akan tetapi hanya sekedar survive. Jadi konsep keterpaksaan ini yang membentuk suatu budaya korupsi  yang menurut penulis hal demikianlah yang merupakan cikal bakal berkembang biaknya tindak korupsi di Indonesia berawal dari terpaksa menjadi budaya.  Inilah lingkaran setan yang klasik.  Singkatnya, demoralisasi terhadap perilaku koruptif kalangan elit pemerintah, juga sering menyuburkan perilaku koruptif di kalangan masyarakat sebagai implikasinya.
Pada penjelasan dampak didalam makalah ini saya memfokuskan pada dampak Demoralisasi, yang mana menurut saya dampak ini yang membuat mengapa korupsi tumbuh subur, karena hakikatnya segala tindakan manusia dipengaruhi oleh moral.  Moral adalah produk dari budaya dan Agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Apabila moral disini dibentuk oleh budaya sebagai salah satu komponen pembentuknya, bagaimana jika yang terjadi di Indonesia budaya yang ada adalah budaya korupsi? Sebagaimana Von Savigny menyatakan bahwa
hukum adalah bagian dari budaya masyarakat, hukum tidak lahir dari suatu
tindakan bebas, tetapi dibangun dan dapat ditemukan dalam jiwa masyarakat.
Hukum secara hipotesis dapat dikatakan berasal dari kebiasan dan selanjutnya
dibuat melalui suatu aktivitas hukum.[5] Terlihat disini bagaimana peran budaya mempengaruhi penegakan hukum disuatu masyarakat

  Maka yang dihasilkan ialah “moral korupsi”. Aspek demoralisasi juga mempengaruhi lembaga internasional dalam menetapkan kebijakan untuk membantu negara-negara berkembang.  Lembaga internasional menolak membantu negara-negara yang korup. Disini tergambar secara nyata dampak domino korupsi yang secara pelan tapi pasti telah menghantui bangsa Indonesia apabila demoralisasi akibat korupsi  ini didiamkan.
Dampak korupsi yang kian kompleks menyebabkan korupsi di indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok yang dikonsumsi oleh semua lapisan penyelenggara negara dan lapisan masyarakat kecil, artinya korupsi bukanlah menjadi suatu momok yang memalukan lagi melainkan korupsi seakan-akan sudah menjadi kebiasaan yang legal. Seakan menjadi pembenaran dari kalangan paling bawah sampai kalangan paling atas. Parahnya lagi kini korupsi kian berkembang, dan mengadopsi konsep religi yakni korupsi berjemaah.  Dampak fenomena korupsi berjemaah di Indonesia ini menjadi sangat memprihatinkan, artinya dampak demoralisasi ini kian kompleks karena melibatkan lebih banyak orang dalam korupsi. Kenyataannya korupsi berjamaah ini berpotensi terjadi dihampir di semua sektor dan lapisan penyelengara negara yang melibatkan semua kalangan artinya kini korupsi bukanlah suatu “kelainan” karena makna kelainan disini adalah sesuatu yang berbeda yang berkonotasi negatif, akan tetapi kini korupsi lebih berkembang menjadi suatu “kebiasaan” yang bermakna suatu yang lazim, Alangkah berbahayanya jika korupsi menjadi lazim. Ironinya saat ini sudah mewabah sampai kelapisan masyarakat kecil. Kita bisa temui disekeliling kita, mulai dari hal yang terkecil seperti membeli buah dipasar yang mengunakan timbangan terkadang juga tidak tepat timbangannya, naluri penipu dan mental korupsi itu sudah tertanam sampai ke lapisan masyarakat kecil. Besar harapannya kepada dunia pendidikan dalam memerangi praktek korupsi, celakanya mental korupsi juga sudah mewabah sampai ke dunia pendidikan, contoh kecil ketika anak masuk sekolah dimana nilainya begitu rendah, orang tua tetap memaksakan juga untuk bisa masuk ke sekolah yang bagus, terjadilah praktek korupsi demi untuk meloloskan si anak untuk bisa menjadi murid disekolah tersebut, mungkin sudah menjadi rahasia. Semua aktivitas di Indonesia ternyata tidak pernah lepas dari yang namanya praktek korupsi. Kolusi dan nepotisme.

  1. Penyebab

Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :

1. Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang.

  1. Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan.
  2. Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
  3. Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.[6]

Tapi, dari keempat akar persoalan korupsi tadi, menurut saya, pusat segalanya adalah sikap rakus dan serakah. Sistem yang bobrok belum tentu membuat orang korupsi. Kebutuhan yang mendesak tak serta-merta mendorong orang korupsi. Hukuman yang rendah bagi pelaku korupsi belum tentu membikin orang lain terinspirasi ikut korupsi.

Tapi, dari keempat akar persoalan korupsi tadi, apabila dianalisa pusat segalanya adalah sikap rakus dan serakah. Karena sikap rakus dan serakah adalah suatu yang mendasari seseorang untuk berbuat korupsi, karena pada hakikatnya suatu sikap ini bersumber dan dipengaruhi dari alam bawah sadar yang terbentuk oleh suatu kebiasaan atau budaya. Hal ini yang sulit untuk diidentifikasikan karena hal ini sangat tersembunyi didalam diri seseorang dan untuk menanggulangi hal ini dirasa sangat sulit karena ini berkaitan dengan interpersonal seseorang. Walaupun sistem birokrasi/sistem pemerintahan dapat juga menjadi pusat permasalahan saya rasa suatu Sistem yang bobrok belum tentu membuat orang korupsi karena sistem itu yang menjalankan tetaplah manusia sehingga itu tergantung dari si pelaksananya.

Kebutuhan yang mendesak tak serta-merta mendorong orang korupsi. Sedangkan untuk Hukuman yang rendah bagi pelaku korupsi belum tentu membuat orang lain terinspirasi ikut korupsi. Tetapi untuk faktor yang ke empat ini yaitu faktor hukuman yang rendah saya rasa disini sangat ironi untuk sebuah bangsa yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi malah menerapkan hukuman yang rendah bagi pelaku tindak pidana korupsi ini. Padahal maksud dari konsep pemidanaan ialah agar memberikan efek jera bagi pelaku, walaupun hal ini termasuk tindakan represif akan tetapi konsep tindakan represif ini juga merupakan suatu tindakan preventif untuk jangka panjang. Karena untuk melakukan suatu pencegahan diperlukan sesuatu yang membuat seseorang tidak mau untuk melakukan suatu tindak pidana, disini tindakan represif memberikan gambaran nyata kepada orang-orang tentang konsekuensi apabila dia melakukan korupsi.

            Selain itu mengutip dari Arya Maheka:

  1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan hukum hanya sebagai make-up politik, bersifat sementara dan selalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
  2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh  bila tidak menggunakan kesempatan.
  3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebtas formalitas.
  4. Rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara. Pendapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
  1. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
  2. Budaya memberi upeti, imbalan jasa dan hadiah.
    Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
  1. Budaya permisif/serba membolehkan; tidak mau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
  2. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno  bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam  memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan institusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk, baik bagi dirinya maupun orang lain.[7]

Selain itu apabila dilihat dari fakta dilapangan ada kecenderungan para koruptor tidak menunjukan adanya ketakutan atau rasa malu apabila melakukan tindak pidana korupsi. Untuk itu bila dicermati, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagai hukum materiil yang menjadi acuan pokok dalam pemberantasan korupsi, masih mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan tersebut sangat berdampak pada efektifitas pemberantasan korupsi di Indonesia. Kelemahan-kelemahan undang-undang Tipikor bahwa adanya tumpang tindih pengaturan, adanya tumpang tindih pengaturan, adanya beberapa modus korupsi yang belum diatur dalam UU Tipikor, dan belum diaturnya daluarsa tindak pidana korupsi.

UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga mempunyai kekurangan perihal minimnya ancaman hukuman bagi pelaku korupsi. Ancaman hukuman tersebut berbanding terbalik dengan keinginan rakyat yang bahkan menginginkan koruptor agar dihukum mati. Berdasarkan hal diatas dapat dikatakan salah satu penyebab mengapa tidak ada rasa takut para koruptor ialah oarena minimnya sanksi. Budaya seperti itu
yang menjadikan penangkapan banyak pejabat, politisi, dan pihak swasta oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak menimbulkan efek jera.

Salah satu penyebab lain mengapa korupsi sulit diberantas walaupun
Tindak pidana korupsi termasuk jenis tindak pidana yang
penanggulangannya sangat diprioritaskan, namun diakui termasuk jenis
perkara yang sulitpenanggulangannya atau pemberantasannya. Kongres PBB
Ke-VI mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Effenders
pada tahun 1980 mengklasifikasikan jenis tindak pidana korupsi sebagai tipe
tindak pidana yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the reach of
the law)”.[8]

Pemaknaan korupsi di Indonesia pun agak menyimpang, korupsi tidak dipandang sebagai sesuatu yang memalukan ataupun menakutkan. Penyimpangan Filosofi yang berkembang di kalangan koruptor adalah ditangkap KPK atau penegak hukum yang lain hanya karena sial. Fenomena tersebut sama dengan fenomena tenaga kerja
Indonesia di luar negeri. Banyak kenistaan dan penderitaan yang dialami para tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Namun, minat untuk menjadi TKW tidak
berkurang, tapi malah bertambah. Inilah realita bagaimana korupsi meracuni cara berfikir masyarakat bagaikan candu bagi pelakunya. Hal demikian menjadi faktor pendorong mengapa Pejabat negara dan para koruptor tidak
ada yang jera.

Budaya korupsi ini berkembang dari segala lapisan pekerjaan tidak memandang atasan maupun bawahan, virus korupsi lambat laun seakan menjangkiti bangsa Indonesia. Aktor Penyebab korupsi memang secara garis besar yang banyak muncul ke permukaan ialah para pegawai yang bekerja di sektor birokrasi pemerintahan, karena memang sektor tersebut ialah “lahan basah” untuk melakukan praktek korupsi. Tapi kadang kita tidak bisa hanya menyalahkan satu sisi dari si pelaku tetapi juga harus memperhatikan faktor lain yaitu adanya pemahaman masyarakat selama ini mengenai makna penyuapan yang kadang disalah artikan sebagai pembayaran insentif kepada pegawai. Bagaimana suatu instansi pemerintah yang rawan praktek korupsi ini sangat dipengaruhi oleh sosok pejabat yang memimpin instansi tersebut bagaimana sikap atasan merupakan panutan bagi bawahannya, jika atasannya korup maka besar kemungkinan  bawahannya korup.

          Pengaruh pimpinan dalam hal ini pejabat dalam suatu tindak korupsi dipengaruhi karena adanya kewenangan para pejabat atas dapatnya menyeleksi proyek-proyek dan melakukan pembelian yang sama sekali tidak didasarkan atas pemikiran rasional hal inilah yang membuka peluang untuk terjadinya tindakan korupsi. Ditingkat bawahan celah korupsi dapat kita lihat contohnya para pegawai disektor publik mungkin hanya ada sedikit insentif untuk menjalankan tugsnya dengan baik, jika berpegang pada skala pembayaran yang resmi, rendahnya insentif menyebabkan sifat kerakusan seseorang diimplementasikan menjadi tindak korupsi.

  1. Solusi

Secara political will, kebijakan negara sebenarnya telah cukup menggambarkan adanya komitmen kuat untuk menanggulangi dan atau memberantas tindak pidana korupsi yang telah sedemikian memperhatinkan, [9]perkembangan korupsi yang kini kian kompleks pun harus disambut dengan solusi yang makin kompleks. Mengingat korupsi merupakan suatu extra ordinary crime maka menanggulanginya pun harus dengan cara yang extra ordinary.

          Membersihkan korupsi idealnya harus melihat bagaimana suatu korupsi itu terjadi, sebagaimana dijelaskan dipembahasan sebelumnya ada beberapa penyebab salah satunya peran pejabat. Memberantas korupsi harus diberantas dari atas dalam hal ini pejabat, dan selanjutnya baru diberantas dari bawah yaitu tingkatan pegawai. Mengapa demikian?apa bila ditinjau dari besarnya wewenang, coba pertimbangkan bagaimana pengaruh suatu keputusan pejabat. Salah satumya ada kewenangan para pejabat atas dapatnya menyeleksi proyek-proyek dan melakukan pembelian yang sama sekali tidak didasarkan atas pemikiran rasional hal inilah yang membuka peluang untuk terjadinya tindakan korupsi. Artinya koruptor mendapatkan keuntungan besar berada di level pejabat, sedangkan untuk bawahan biasanya tidak sebesar pejabat. Dan artinya kerugian negara akibat korupsi disebabkan besar oleh para pejabat yang korup maka harus diberantas mulai pejabatnya. Selain itu menghapuskan budaya korupsi yang selama ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa di masyarakat contohnya bagaimana bisa insentif dan suap mulai sulit dibedakan dimasyarakat, artinya korupsi sudah mulai menjadi budaya.

 Oleh karena itu perubahan harus di terapkan disegala lapisan masyarakat, mengembalikan kembali konsep bahwa korupsi bukanlah suatu budaya melainkan suatu penyakit yang harus disembuhkan dan mengembalikan kodrat korupsi sebagai suatu hal yang memalukan dan menjijikan sebagai makna korupsi sendiri yang berarti busuk dan rusak. Menguatkan fungsi dan peranan KPK bisa dijadikan salah satu upaya untuk menyurutkan iklim korupsi di Indonesia, karena dalam menetralisir  budaya korupsi  salah satunya ialah mencari suatu panutan yang dinilai berintegritas oleh masyarakat sebagai contoh bagaimana masyarakat kembali bersikap terhadap korupsi salah satunya kehadiran KPK bisa menjadi panutan masyarakat.

Salah satu upaya pemberantasan korupsi ialah bagaimana cara mencari suatu yang dapat menjerakan koruptor, karena selama ini kurang efektifnya penaggulangan korupsi karena hukuman yang dianggap tidak menjerakan. Munculnya opsi mengenai Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak pidana
korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus
korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat-aparatnya. Mengingat Efektifitas pidana mati terkait dengan efek penjeraan (deterrence) sebagai salah satu tujuan
penghukuman.[10]

Didalam hukum nasional
mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari
keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan Tuhan memberikan
aturan-aturan bagi ciptaan-Nya, maka sudah semestinya hukum kodrat dan hukum
susila tidak bertentangan dengan hukum Tuhan. Ketiga macam hukum ini tidak
berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain[11]

Mencuri ialah suatu perbuatan yang dilarang agama yang mana didalam agama melarang pencurian terhadap benda milik orang lain, sedangkan korupsi ialah suatu perbuatan yang pencurian uang negara yang mana kerugian akibat korupsi tidak hanya ditanggung oleh satu orang melainkan oleh segenap rakyat.
Akan tetapi melihat nominal kerugian yang ditanggung negara yang terbilang besar akibat korupsi, kerugian negara memang tidak berdampak instant kepada warga negaranya akan tetapi apabila melihat konsep bagaimana sebuah Negara yang mana merupakan entitas yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda yang saling melengkapi dan saling tergantung dan bertindak bersama-sama dalam mengejar tujuan bersama. Luka bagi siapapun adalah luka bagi semuanya. Artinya tidak salah jika dikatakan koruptor melanggar hukum Tuhan.

Di Indonesia pemberantasan korupsi memang menjadi fokus utama salah satunya apabila dilihat Dalam RUU KUHP baru upaya pemberantasan korupsi telah di implementasikan dalam bentuk rancangan Undang-Undang, mengandung pemikiran “reformasi” tentang pidana mati yang menetapkan sebagai (1) “pidana khusus” (2) “pidana mati percobaan” (3) kalau 10 tahun tidak dilaksanakan, maka “otomatis” menjadi seumur hidup. Rumusan KUHP ini sudah cukup terlihat mengakomodir perdebatan tentang pidana mati, ada baiknya hal ini dapat “ditiru” oleh peraturan perundang-undangan yang lain yang mencantumkan ancaman pidana mati. Tampaknya mustahil kita menentang pidana mati sementara peraturan perundang-undangan kita termasuk yang lahir pada era reformasi masih mencantumkan ancaman pidana mati. Perjuangan menegakkan hak asasi manusia tidak boleh bersikap diskriminatif termasuk memperjuangkan hak hidup seorang penjahat kelas berat sekalipun, karena mereka memiliki hak untuk hidup sebagai hak asasi yang paling mendasar.

Walaupun didalam perencananya tentang pro kontra penerapan hukuman mati ini terjadi dan mengusulkan agar hukuman mati dicabut. Alasannya, penghapusan hukuman mati sudah menjadi gerakan internasional. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik pada 1966 yang berlaku sejak 1976, antara lain menyebutkan larangan hukuman mati dan memberikan hak untuk hidup. Selain itu, hukuman mati dinilai bertentangan dengan Pancasila sila kedua, “Kemanusian yang adil dan beradab.” Selain itu, hukuman mati juga tidak taat dengan Pasal 28A dan 28 I UUD 1945 bahwa hak untuk hidup, tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun.

Terlepas dari pro kontra diatas penulis berpendapat bahwa penyelesaian suatu kejahatan luar biasa memang memerlukan metode yang luar biasa apabila menggunakan cara yang biasa maka kondisi korupsi di Indonesia maka akan terjadi stagnansi. Selama ini penggunaan pidana penjara bagi koruptor dianggap tidak efesien karena memerlukan ongkos sosial yang sangat tinggi (high social cost of imprisonment) dan itu semua harus ditanggung negara.[12]

Sifat korupsi yang memilki hubungan yang sangat erat dengan bentuk-bentuk kejahatan lain, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang, sehingga dalam banyak kasus korupsi melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber daya negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan Negara tersebut. [13]

Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan di atas, kita sudah berada pada titik
yang sangat urgen sebelum hancurnya perekonomian dan kehidupan masyarakat
karena korupsi, harus segera dicari jalan keluarnya, termasuk pertimbangan
pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang kalau
memang bisa memberantas korupsi, karena secara legalitas, pidana mati tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak pidana
korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus
korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat-aparatnya.

  1. Kesimpulan

Korupsi memiliki berbagai efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects) terhadap orang miskin, dengan dua dampak yang saling bertaut satu sama lain. Korupsi yang merajalela di lingkungan pemerintah akan menurunkan kredibilitas pemerintah yang berkuasa. Ia meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap berbagai tindakan pemerintah. Jika suatu pemerintah tidak lagi mampu memberi pelayanan terbaik bagi warganya, maka rasa hormat rakyat dengan sendirinya akan luntur.

Dampak korupsi yang kian kompleks menyebabkan korupsi di indonesia seakan-akan menjadi kebutuhan seperti makanan pokok yang dikonsumsi oleh semua lapisan penyelenggara negara dan lapisan masyarakat kecil, artinya korupsi bukanlah menjadi suatu momok yang memalukan lagi melainkan korupsi seakan-akan sudah menjadi kebiasaan yang legal. sikap rakus dan serakah adalah suatu yang mendasari seseorang untuk berbuat korupsi, karena pada hakikatnya suatu sikap ini bersumber dan dipengaruhi dari alam bawah sadar yang terbentuk oleh suatu kebiasaan atau budaya. Secara political will, kebijakan negara sebenarnya telah cukup menggambarkan adanya komitmen kuat untuk menanggulangi dan atau memberantas tindak pidana korupsi yang telah sedemikian memperhatinkan, perkembangan korupsi yang kini kian kompleks pun harus disambut dengan solusi yang makin kompleks.

Mengingat korupsi merupakan suatu extra ordinary crime maka menanggulanginya pun harus dengan cara yang extra ordinary. Salah satu upaya pemberantasan korupsi ialah bagaimana cara mencari suatu yang dapat menjerakan koruptor, karena selama ini kurang efektifnya penaggulangan korupsi karena hukuman yang dianggap tidak menjerakan. kita sudah berada pada titik
yang sangat urgen sebelum hancurnya perekonomian dan kehidupan masyarakat
karena korupsi, harus segera dicari jalan keluarnya, termasuk pertimbangan
pemberlakuan hukuman mati bagi para pelaku tindak pidana korupsi yang kalau
memang bisa memberantas korupsi, karena secara legalitas, pidana mati tidak
bertentangan dengan undang-undang.
Penjatuhan pidana yang tegas khususnya pidana mati bagi pelaku tindak pidana
korupsi harus menjadi prioritas utama dalam rangka penyelesaian kasus-kasus
korupsi sehingga tidak berlarut-larut yang akan menimbulkan ketidakpercayaan
masyarakat terhadap aparat-aparatnya.

korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime korupsi extra ordinary crime

Support: https://klinikhukumkalsel.com/

DAFTAR PUSTAKA

  1. Mustakim, Kendala-Kendala Korupsi di Indonesia ditiinjau dari Sosiologi Hukum, Makalah Sosiologi Hukum 2007. Lihat juga hasil Penelitian Political and Economic Risk Consultancy dalam Adnan Buyung Nasution,”Prinsip-prinsip Umum Pengadilan yang Baik,” Makalah disampaikan pada Lokakarya mengenai Pengadilan Khusus Korupsi di Jakarta, 19-20 Juni 2001
  2. Naskah  Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Korupsi, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independen Peradilan (LeiP), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)  Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) , Jakarta Juli 2001.
  3. Evi Hartanti,Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
  4. Paulus Mujiran, Republik Para Maling, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004,
  5. M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, (London: Sweet and Maxwell Ltd., 1994),
    6. Bologna, Jack. (1993), Handbook of Corporate Fraud. Boston: Butterworth‐Heinemann.
  6. Maheka, Arya.(2006)Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta:Komisi Pemberantasan Korupsi RI.
  7. Muladi dan Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992),
  8. M. Abdul Kholiq, Slide Perkuliahan Sekilas tentang Perundang-undangan Pidana Korupsi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2016

Jeffrey Fagan, “Death and deterrence redux : science, law and causal reasoning
on Capital Punishment
, Ohio State Journal of Criminal Law, Fall, 2006.

  1. A Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional, Fakultas Hukum UII, Yokyakarta,
  1. Ali, Mahrus, 2016,Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Hal. 219
  2. Konsideran United Convention Aginst Corruption, 2003

[1] Mustakim, Kendala-Kendala Korupsi di Indonesia ditiinjau dari Sosiologi Hukum, Makalah Sosiologi Hukum 2007. Lihat juga hasil Penelitian Political and Economic Risk Consultancy dalam Adnan Buyung Nasution,”Prinsip-prinsip Umum Pengadilan yang Baik,” Makalah disampaikan pada Lokakarya mengenai Pengadilan Khusus Korupsi di Jakarta, 19-20 Juni 2001.

[2] Naskah  Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Korupsi, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independen Peradilan (LeiP), Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)  Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) , Jakarta Juli 2001.

[3] Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hal. 2

[4] Paulus Mujiran, Republik Para Maling, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal. 2

[5] M.D.A. Freeman, Lloyd’s Introduction to Jurisprudence, (London: Sweet and Maxwell Ltd., 1994), hlm. 904-905

[6] Bologna, Jack. (1993), Handbook of Corporate Fraud . Boston: ButterworthHeinemann.

[7]Maheka, Arya.(2006) Mengenali dan Memberantas Korupsi. Jakarta:Komisi Pemberantasan Korupsi RI.

[8] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 134.

[9] M. Abdul Kholiq, Slide Perkuliahan Sekilas tentang Perundang-undangan Pidana Korupsi di Indonesia, Slide 1, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2016

[10] Jeffrey Fagan, “Death and deterrence redux : science, law and causal reasoning
on Capital Punishment, Ohio State Journal of Criminal Law, Fall, 2006.

[11] A Artidjo Alkostar, Identitas Hukum Nasional., Fakultas Hukum UII, Yokyakarta, hal. 286 – 296.

[12] Ali, Mahrus, 2016, Hukum Pidana Korupsi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Hal. 219

[13] Konsideran United Convention Aginst Corruption, 2003

Mengapa Harus memilih KHK Law Office sebagai Advokat/Pengacara di Yogyakarta ?

  • Pelayanan Simple dan Cepat.
  • Expert/Ahli dan Terpercaya. Kami KHK Law Office telah berpengalaman dan tentunya ahli dibidangnya serta dapat dipercaya.
  • Harga Terjangkau dan layanan 24 Jam.  Dengan harga terjangkau, namun pelayanan tetap yang terbaik. Dan tentunya, layanan konsultasi  hukum 24 jam.
Selain itu, KHK Law Office juga melayani penanganan berbagai permasalahan hukum di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya seperti: Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Klaten, Kota Surakarta, Pengacara Jogja, Pengacara Yogyakarta, Pengacara Bantul, Pengacara Sleman, Pengacara Wates, Pengacara Kulon Progo, Pengacara Wonosari, Pengacara Gunungkidul, Pengacara Mungkid, Pengacara Magelang, Pengacara Klaten, Pengacara Surakarta, Pengacara Solo, Pengacara Semarang, Pengacara Purworejo, Pengacara Ngawi.

Hubungi Kami

Alamat Kantor : Komp. Pleret Asri E.6, Pleret, Bantul

Telp: 0813-5118-7743

WhatsApp : 0813-5118-7743