Kelahiran Undang-undang tentang Pengampunan Pajak atau yang lebih dikenal dengan istilah Tax Amnesty kini telah terealisasi dengan disahkan UU No. 11 Tahun 2016.
Kelahiran UU Tax Amnesty
UU yang disinyalir sarat akan nuansa politik ini kian menjadi ketika sejak awal dalam tahap perancangannya telah terjadi tarik menarik di parlemen terkait rencana pemerintah memberlakukan pengampunan bagi para pengemplang pajak. Secara kasarnya apa yang menjadi maksud pemerintah dalam UU Tax Amnesty ini adalah bahwa pemerintah berkeinginan memberikan ampunan kepada orang-orang yang tidak patuh pajak dan melarikan dananya ke luar negeri. UU ini menjadi sangat sensitif dari segi materi perundangannya dikarenakan hal yang diatur ini menyangkut kebijakan publik yang berarti dampak dari kebijakan ini langsung dirasakan oleh masyarakat, dimana selaku pemerintah berperan sebagai pembuat kebijakan dengan masyarakat selaku pelaksana dan objek sasaran program.
Pajak subjektif adalah pajak yang pengenaannya pertama-tama memperhatikan pribadi wajib pajak (subjek), kemudian menetapkan objek pajaknya. Keadaan pribadi wajib pajak (gaya pikulnya) sangat mempengaruhi besarnya jumlah pajak yang terutang.
Contoh: PPh
Pajak objektif adalah pajak yang pengenaannya pertarna-tama memperhatikan kepada objeknya, yaitu berupa benda, keadaan, perbuatan, peristiwa yang menyebabkan utang pajak, kemudian ditetapkan subjeknya, tanpa mempersoalkan apakah subjek tersebut bertempat tinggal di Indonesia atau tidak.
Contoh:
PPN dan PPn.BM, PBB
Contoh: PPh
Pajak objektif adalah pajak yang pengenaannya pertarna-tama memperhatikan kepada objeknya, yaitu berupa benda, keadaan, perbuatan, peristiwa yang menyebabkan utang pajak, kemudian ditetapkan subjeknya, tanpa mempersoalkan apakah subjek tersebut bertempat tinggal di Indonesia atau tidak.
Contoh:
PPN dan PPn.BM, PBB
Apabila ditinjau dari definisi kebijakan publik sendiri dapat dirumuskan sebagai berikut, kebijakan publik adalah keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu dan mereka yang menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan atau dengan kata lain kebijakan publik adalah serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana kebijakan yang menjelaskan tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut (Winarno, 2000: 17) melihat definisi diatas, maka pajak dapat digolongkan sebagai salah satu dari instrumen kebijakan publik karena terdapat kesamaan tujuan antara kebijakan perpajakan dan kebijakan publik sebagaimana dikemukakan oleh (Mansury,2000:5) bahwa tujuan kebijakan perpajakan adalah sama dengan kebijakan publik pada umumnya, yaitu mempunyai tujuan pokok sebagai berikut:
1. Untuk peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran,
2. Distribusi penghasilan yang lebih adil, dan
3. Stabilitas.
Permasalahan pajak merupakan suatu hal yang kurang bersahabat dibenak masyarakat pada umumya, dikarenakan image pajak dapat disamakan dengan istilah “Pungutan Paksa” oleh karena terdapat unsur paksaan tersebut maka munculah kewajiban masyarakat untuk membayar pajak itu kepada negara. Apabila ditinjau dari segi teoritik sebenarnya peran pajak sangat sentral didalam kehidupan bernegara, Pajak dapat berperan sebagai instrument untuk mematok besarnya upah minimum di suatu Negara. Penentuan besarnya batas tidak kena pajak dapat digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menentukan besarnya standar biaya hidup minimum.
Kebijakan perpajakan di dalam kegiatan ekonomi negara lebih cenderung untuk penerimaan Negara dan mengontrol harga. Oleh karena urgensi diatas maka diperlukan pengaturan mengenai perpajakan. Negara sangat bergantung dengan pajak, sehingga negara sangat menaruh perhatian penuh pada masalah perpajakan karena pajak merupakan salah satu pengisi pundi-pundi keuangan negara. Kelahiran UU Tax Amnesty ini merupakan salah satu dari produk hukum yang merespon dari problematika perpajakan di Indonesia. Perlu diketahui bahwa latar belakang kemunculan UU Tax Amnesty ini sendiri tidak lepas dari besarnya dana yang lari keluar negeri dari para pengemplang pajak yang kabarnya hingga mencapai Rp. 165 Triliun.
Sehingga dengan disahkan UU Tax Amnesty diharapkan dapat mengembalikan dana yang seharusnya masuk kedalam pendapatan negara. Didalam menganalisis apakah UU Tax Amnesty ini merupakan langkah yang tepat atau hanya merupakan blunder kebijakan penulis menggunakan beberapa indikator yang dikutip Menurut Mansury (Mansury, 2000: 7-8) suatu sistem perpajakan yang tepat untuk suatu negara pada suatu waktu harus mengakomodasi faktor-faktor khusus sebagai berikut:
a. Kondisi ekonomi, politik, dan administratif
b. Tujuan Kebijakan publik
c. Tersedianya instrumen-instrumen kebijakan, disamping pajak juga instrumen-instrumen lain (Moneter dan pengaturan)
Pertama, dari sisi kondisi ekonomi, politik, dan administratif yang menurut penulis terdapat 2 sisi yang menjadi perhatian penulis dimana kondisi ekonomi dan politik terlihat dominan dalam kemunculan UU Tax Amnesty ini, apabila dilihat dari kebijakan sebelumnya mengenai pemangkasan APBN yang mencapai Rp 133,8 triliun sehingga berimplikasi hingga terdapat pemotongan yang lumayan besar di daerah. Penulis melihat ada beberapa permasalahan ekonomi yang menerpa keuangan negara yang bisa berasal dari kurangnya pemasukan negara sehingga mengharuskan untuk mengadakan pemotongan anggaran demi penghematan. Dan yang dari sisi politik penulis menilai kehadiran UU ini juga menjadi sasaran spekulan masyarakat dalam beropini sehingga memunculkan pertanyaan dimasyarakat siapakah “Aktor belakang layar” dari kemunculan UU ini, apakah ini merupakan hasil kompromi para pengusaha dengan para birokrat dan politisi ataukah ini memang murni sebuah tindakan penyelamatan negara.
Kedua, Apabila ditinjau dari tujuan kebijakan publik disini penulis mendukung UU Tax Amnesty ini karena kebijakan ini sebagai kebijakan ekonomi yang bersifat mendasar, jadi tidak semata-mata kebijakan terkait fiskal apalagi khususnya pajak. Jadi ini kebijakan yang dimensinya lebih luas, kebijakan ekonomi secara umum. Kenapa? Karena pertama dari sisi pajaknya sendiri, dengan adanya tax amnesty maka ada potensi penerimaan yang akan bertambah dalam APBN kita baik di tahun ini atau tahun-tahun sesudahnya yang akan membuat APBN kita lebih sustainable. APBN lebih sustainable dan kemampuan pemerintah untuk spending atau untuk belanja juga semakin besar sehingga otomatis ini akan banyak membantu program-program pembangunan tidak hanya infrastruktur tapi juga perbaikan kesejahteraan masyarakat. Selain itu didalam hidup bernegara kita juga harus berfikir secara taktis untuk menyelamatkan keuangan negara dengan sebuah kebijakan, sehingga tidak salah menurut penulis sebagai langkah yang visioner kebijakan ini diharapkan dapat menjadi penyeimbang keuangan negara sekaligus menjadi jalan keluar dari kebuntuan masalah pengemplang pajak yang tak kunjung mengembalikan pajak.
Ketiga, tersedianya instrumen kebijakan disamping pajak juga insturumen lain. Didalam kemunculan pengaturan dibidang perpajakan kehadiran instrumen lain selain pajak juga diperlukan akan tetapi kelahiran UU Tax Amnesty ini didalamnya tedapat alasan dan tujuan yang dibuat atas dasar moneter atau fiskal, sebagaimana dijelaskan didalam Tujuan UU No. 11 Tahun 2016
– 1. Mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; – (Mencerminkan Moneter)
– 2. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi; dan – Mencerminkan Fiskal
– 3. Meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan. -Mencerimkan Fiskal + Moneter
Maka disini penulis berpendapat bahwa kebijakan UU Tax Amnesty merupakan sebuah kebijakan yang tepat untuk menyelamatkan keuangan negara terlebih lagi indikator yang penulis paparkan untuk menilai apakah UU ini tepat diterapkan telah memenuhi 3 unsur sehingga diharapkan UU ini bisa menjadi jalan keluar dan meningkatkan iklim ekonomi Indonesia.
Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 (tiga) :
Official Assessment System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pemerintah (petugas pajak) untuk menentukan besarnya pajak terhutang wajib pajak. Sistem pemungutan pajak ini sudah tidak berlaku lagi setelah reformasi perpajakan pada tahun 1984. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung oleh petugas pajak, (ii) wajib pajak bersifat pasif, dan (iii) hutang pajak timbul setelah petugas pajak menghitung pajak yang terhutang dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Self Assessment System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri, melaporkan sendiri, dan membayar sendiri pajak yang terhutang yang seharusnya dibayar. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini adalah (i) pajak terhutang dihitung sendiri oleh wajib pajak, (ii) wajib pajak bersifat aktif dengan melaporkan dan membayar sendiri pajak terhutang yang seharusnya dibayar, dan (iii) pemerintah tidak perlu mengeluarkan surat ketetapan pajak setiap saat kecuali oleh kasus-kasus tertentu saja seperti wajib pajak terlambat melaporkan atau membayar pajak terhutang atau terdapat pajak yang seharusnya dibayar tetapi tidak dibayar.
Withholding System ; sistem pemungutan pajak ini memberikan wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga untuk memotong dan memungut besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.
Sistem pemungutan pajak di Indonesia sesuai dengan asas pemungutan pajak menganut sistem pemungutan pajak self assesment system dan witholding system.
kelahiran UU tax amnesty kelahiran UU tax amnesty kelahiran UU tax amnesty
Mengapa Harus memilih KHK Law Office sebagai Advokat/Pengacara di Yogyakarta ?
- Pelayanan Simple dan Cepat.
- Expert/Ahli dan Terpercaya. Kami KHK Law Office telah berpengalaman dan tentunya ahli dibidangnya serta dapat dipercaya.
- Harga Terjangkau dan layanan 24 Jam. Dengan harga terjangkau, namun pelayanan tetap yang terbaik. Dan tentunya, layanan konsultasi hukum 24 jam.
Wilayah hukum Jasa Pengacara Jogja:
Selain itu, KHK Law Office juga melayani penanganan berbagai permasalahan hukum di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya seperti: Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Klaten, Kota Surakarta, Pengacara Jogja, Pengacara Yogyakarta, Pengacara Bantul, Pengacara Sleman, Pengacara Wates, Pengacara Kulon Progo, Pengacara Wonosari, Pengacara Gunungkidul, Pengacara Mungkid, Pengacara Magelang, Pengacara Klaten, Pengacara Surakarta, Pengacara Solo, Pengacara Semarang, Pengacara Purworejo, Pengacara Ngawi.