Banyak tindakan yang diambil oleh suatu negara menimbulkan luka atau penghinaan atas martabat atau kewibawaan negara lain, tanggung jawab negara dalam Masalah kabut asap dalam Hukum Internasional merupakan sebuah topik yang tidak habis-habisnya. Kaidah-kaidah hukum internasional mengenai tanggung jawab negara menyangkut keadaan-keadaan, prinsip-prinsip negara yang dirugikan menjadi berhak atas ganti rugi untuk kerugian yang dideritanya. Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada “Pertanggungjawaban negara-negara bagi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah”. Ini merupakan tanggung jawab negara dalam arti tegas.

Hingga akhir Abad ke-20 masih dipegang pendapat bahwa untuk lahirnya tanggung jawab negara tidak cukup dengan adanya dua unsur di atas melainkan harus ada unsur kerusakan atau kerugian (damage or loss) pada pihak atau negara lain. Namun, dalam perkembangannya hingga saat ini, tampaknya unsur “kerugian” itu tidak lagi dianggap sebagai keharusan dalam setiap kasus untuk lahirnya tanggung jawab negara.

Pertanggungjawaban negara berkaitan erat dengan suatu kaidah di mana prinsip fundamental hukum internasional menyebutkan  bahwa negara atau suatu pihak yang dirugikan berhak mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Suatu doktrin serupa berlaku dalam kaitannya dengan unit-unit bagian lain dari negara-negara pada umumnya. baik federal maupun kesatuan. Laporan tahun 1974 Komisi Hukum Internasional menyebutkan Prinsip bahwa negara bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian organ-organ dari kesatuan-kesatuan pemerintah teritorial, seperti kotapraja dan propinsi, dan daerah-daerah, telah lama diakui secara tegas di dalam keputusan-keputusan judisial internasional dan praktik-praktik negara.[1]

             Kebanyakan negara yang menderita akan meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui negosiasi diplomati, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan sebuah permohonan maaf resmi dari negara yang bertanggung jawab biasanya dipenuhi atas diajukannya suatu keberatan. Sedangkan yang menyangkut dengan perbaikan dan biaya kompensasi lainnya diajukan apabila negara yang dirugikan itu telah menderita berupa material loss or damage. Guna memenuhi ini tidak jarang digunakan jalur hukum yang diajukan kepada internasional arbitral or tribunal.[2]

            Kesalahan atau kerugian-kerugian yang menimbulkan tanggung jawab negara mungkin beragam jenisnya. Dengan demikian, suatu negara bertanggung jawab karena melanggar traktat, berkaitan dengan tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban kontraktual karena kerugian-kerugian terhadap warga negara dari negara lain dan sebagainya.

Permasalahan

Permasalahan kabut asap seakan tak henti-hentinya menyelimuti langit Indonesia. Selama bertahun-tahun Pemerintah selalu bergelut dengan masalah tersebut. Riau adalah salah satu provinsi yang paling parah terkena dampaknya. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau pada 11 September 2015 sudah 43.386 orang yang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Jumlah korban tentu lebih dari angka tersebut, karena tentunya masih ada warga yang tidak memeriksakan diri ke rumah sakit dan puskesmas. Perlu diketahui pula bahwa angka tersebut meningkat pesat karena pada 2013, korban ISPA di provinsi tersebut berjumlah 19.862 orang dan pada 2014 sejumlah 27.200 orang. Fenomena ini tentu mengundang keprihatinan banyak pihak karena menimbulkan berbagai dampak negatif. Beberapa dampak dari kabut asap tersebut diantaranya adalah timbulnya masalah kesehatan seperti infeksi sauran pernafasan (ISPA), berkurangnya efesiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala besar karena sekolah-sekolah dan kantor-kantor akan diliburkan, terganggunya transportasi di darat, laut maupun udara, serta timbulnya persoalan internasional karena kabut asap. Masih hangat juga beberapa hari lalu sindiran yang disampaikan warga negara Singapura dan Malaysia terhadap Indonesia melalui media sosial. Mereka menyuarakan kekesalan akan bencana asap di Sumatera dan Kalimantan melalui tagar #terimakasihIndonesia. Berangkat dari hal tersebut makalah ini akan mencoba untuk mengulas permasalahan kabut asap yang melintasi batas-batas antarnegara atau transboundary haze polution dari segi hukum internasional khususnya dalam koridor pertanggungjawaban negara.

Analisa Kasus Kabut dan Tanggung Jawab Negara berdasarkan Hukum Internasional

Tanggung jawab negara menurut A Dictionary of Law adalah “The obligation of a state to make reparation arising from a failure to comply with a legal obligation under international law”. [3]Berdasarkan definisi tersebut dapat diartikan bahwa tanggung jawab negara untuk melakukan perbaikan (reparation) timbul ketika suatu negara melakukan kesalahan untuk mematuhi kewajiban hukum berdasarkan hukum internasional.

            Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain, tertapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara. Misalnya perbuatan negara yang menolak masuknya seorang warga negara asing ke dalam wilayahnya tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara itu. Hal itu disebabkan karena negara itu menurut hukum internasional berhak menolak atau menerima warga negara asing masuk ke dalam wilayahnya.[4]

            Pertanggungjawaban Negara memiliki dua pengertian. Pengertian yang pertama memiliki arti pertanggungjawaban atas tindakan negara yang melanggar kewajiban internasional yang telah dibebankannya. Sedangkan pengertian kedua adalah pertanggungjawaban yang dimiliki oleh negara atas pelanggaran terhadap orang asing.

Tanggung jawab negara muncul sebagai akibat dari prinsip persamaan dan kedaulatan negara yang terdapat dalam hukum internasional. Prinsip ini kemudian memberikan kewenangan bagi suatu negara yang terlanggar haknya untuk menuntut reparasi.[5]  Dalam hukum nasional dibedakan antara pertanggungjawaban perdata dan pidana; begitu pula dalam hukum internasional terdapat beberapa ketentuan yang serupa dengan hukum nasional tapi hal ini tidak menonjol. Di samping itu, hukum internasional mengenai pertanggungjawaban belum berkembang begitu pesat[6].

            Menurut Shaw, karakteristik penting timbulnya tanggung jawab negara ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

  1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tertentu.
  2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional  yang melahirkan tanggung jawab negara.
  3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.[7]

Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara ini dalam hukum internasional adalah memberikan perlindungan kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang menderita kerugian tersebut.[8]

Secara garis besar tanggung jawab negara dibagi menjadi :

a.Tanggung jawab perbuatan melawan hukum (delictual liability)

Tanggung jawab ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah negaranya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena :

Eksplorasi ruang angkasa

Eksplorasi nuklir

Kegiatan Lintas Batas Nasional

  1. Tanggung jawab atas pelanggaran perjanjian

Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara melanggar perjanjian internasional (treaty) yang dibuat dengan negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya.

Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara yaitu : [9]

  1. Subjective fault criteria
  2. Objective fault criteria
  3. Strict Liability
  4. Absolute Liability

Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan pihak ketiga, negara yang bersangkutan dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut.

Konsep strict liability membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran dan mengakibatkan kerugian di wilayah negara lain, meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate).

Menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi[10]. Sebelum melangkah lebih jauh alangkah lebih baiknya untuk memahami makna dari transboundary haze polution itu sendiri. Menurut ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yang dimaksud dengan pencemaran udara lintas batas adalah “Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State.[11]

Dalam hal membicarakan masalah pencemaran lintas batas, khususnya pencemaran udara dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang menerangkan bahwa suatu pencemaran yang terjadi dalam suatu wilayah negara akan tetapi dampak yang ditimbulkannya oleh karena faktor media atmosfer atau biosfer melintas sampai ke wilayah negara lain. Berdasarkan dari hal tersebut maka yang menjadi pertanyaan utama adalah apa dan siapakah penyebab terjadinya kabut asap. Pada dasarnya kebakaran hutan di Indonesia semula dianggap terjadi secara alami, tetapi fakta di lapangan membuktikan bahwa manusia memegang peranan penting dalam proses degradasi hutan dan peningkatan laju deforestasi.

            Ketentuan Bill of Trans-boundary Haze Pollution yang bersifat extra-ordinary karena mampu menjerat pelaku diluar wilayah teritorial singapura tersebut, akan sangat berdampak negatif kepada indonesia sebagai negara yang paling banyak menyumbangkan polusi udara ke wilayah singapura. Singapura menentukan bahwa bagi setiap pelanggaran baik itu entitas Singapura atau non-Singapura bagi yang menyebabkan atau memberikan kontribusi untuk trans- polusi asap batas di Singapura. Perusahaan atau individu yang memberikan dampak polusi dapat didenda sampai $ 100.000 per hari, atau maksimum $ 2 juta, untuk meningkatkan polusi Singapura ke tingkat yang tidak sehat.

            Hal tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah.

Pemberlakuan ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di terima Indonesia dari ketentuan tersebut.

Penyelesaian sengketa yang dilakukan dengan konsultasi dan negosiasi. Sebenarnya dalam hukum internasional terdapat banyak model penyelesaian sengketa internasional yang telah dikenal baik secara teori maupun praktek. Hukum internasional selalu menganggap tujuan fundamentalnya adalah pemeliharaan perdamaian. Berbagai aturan hukum internasional dapat dikemukakan prinsip-prinsip mengenai penyelesaian sengketa internasional seperti prinsip itikad baik, prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa, prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, prinsip kesepakatan para pihak, dan prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan kemerdekaan dan integritas wilayah Negara-negara[12]

Berpijak pada prinsip good neighbourlines dan konsepsi pertanggungjawaban negara, ketika terbukti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut yang menjadi penyebabnya maka pertanyaan akan kembali ke Indonesia, bagaimana pengawasan yang dilakukan sehingga bisa menjadikan wilayahnya sebagai lokasi pembakaran hutan yang akibatnya menimbulkan kabut asap hingga ke negara tetangga (transboundary haze pollution) dan bagaimana cara perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh izin untuk melaksanakan kegiatannya. Apabila memang semua bukti mengarah pada kelalaian yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dalam pengawasan dan pemberian izin (bukan karena force majeur), maka pemerintah wajib bertanggungjawab atas hal tersebut. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa tanggung jawab negara lahir karena terjadi internationally wrongful act, yaitu suatu perbuatan salah yang memeliki karakteristik internasional atau perbuatan yang melangar kewajiban internasional. Mengacu pada pasal (3) draft articles on the responsibility of states for internationally wrongful act, yang menjelaskan bahwa salah satu syarat digolongkan sebagai an Internationally wrongful act adalah jika  memang perbuatan tersebut merupakan suatu tindakan/kelalaian suatu negara menurut hukum Internasional.

Menurut International Law Comission ada beberapa bentuk pertanggungjawaban negara yang dikenal yaitu restitution (pemulihan kembali), compensation (pembayaran ganti rugi), dan satisfaction (permintaan maaf). Pada hakikatnya adalah memang suatu hak bagi setiap negara untuk memilih atau mengajukan diri bertanggungjawab dalam hal apa. Khusus kabut asap ini bentuk pertanggungjawaban berupa satisfaction biasanya akan dipilih, yaitu melalui perundingan diplomatik dan diwujudkan dengan permohonan maaf secara resmi serta jaminan akan melakukan tindakan-tindakan pencegahan agar tidak terjadi hal serupa adalah hal yang paling tepat.
Salah satu risiko dalam mengambil langkah hukum terkait ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yakni mengenai  kemungkinan Indonesia diminta pertanggungjawaban hukum terhadap dampak kepada negara – negara tetangga. Sesungguhnya, terlepas dari konteks non hukum hal ini justru bisa dihindari pada saat Pemerintah Indonesia mengambil langkah ratifikasi terhadap ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.

Secara eksplisit dinyatakan dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollutionbahwa, mekanisme penyelesaian sengketa merujuk pada pendekatan kerja sama dan upaya–upaya pembantuan antarnegara guna pengurangan titik api. Juga langkah antisipatif lain dalam mitigasi penyebab dan dampak kebakaran hutan. Bahkan, di bawah naungan lembaga khusus pada tingkatan ASEAN kerjasama penanggulangan secara teknis akan difasilitasi lembaga khusus yang mengedepankan tanggung jawab bersama dengan porsi berbeda (Common But Differentiated Responsibility)–yang dalam perjanjian ini secara bersamaan menggusur tanggung jawab negara secara masing–masing. Hendaknya ini menjadi solusi nyata dalam menunjukkan keseriusan langkah strategis dalam penyelamatan ekosistem nasional dan regional.

KESIMPULAN

Dalam hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara yang bersangkutan merugikan Negara lain, dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Bila dilihat, sebenarnya Indonesia telah melakukan segala upaya yang mampu dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi polusi asap akibat kebakaran hutan..

Undang-undang polusi asap lintas batas singapura mengisyaratkan metode baru dalam melakukan bisnis bagi perusahaan dan pemerintah yang ingin mengurangi kebakaran hutan dan lahan gambut. Selain itu, setiap perusahaan yang tertangkap secara ilegal membakar hutan akan diseret ke pengadilan Singapura dan reputasi mereka akan hancur bersamaan dengan itu, dimana pelanggan, bank dan asuransi akan menghindari melakukan bisnis dengan perusahaan-perusahaan ini.

Hal tersebut diatas, tentu mengancam perusahaan-perusahaan di Indonesia yang artinya juga mengancam prekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu subyek yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari ketentuan tersebut tentu harus melakukan langkah-langkah bijak untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara lintas batas tersebut dengan tidak meninggalkan kerugian bagi perekonomian Indonesia terutama di daerah.

Pemberlakuan ketentuan ini secara ketat oleh singapura tentu mengancam pemerintahan daerah yang paling banyak menyumbangkan polusi asap ke singapura terlebih lagi jika singapura memberlakukan hukum perdata dan pidana sekaligus dalam menanggulangi masalah polusi asap lintas batas. Di tambah lagi sanksi-sanksi yang mungkin di terima Indonesia dari ketentuan tersebut.

Dalam kasus Bill of Trans-boundary Haze Pollution ini, dapat dilihat bahwa Indonesia secara tidak langsung menganut dualisme dan teori tranformasi, dimana dalam memberlakukan hukum-hukum internasional atau perjanjian-perjanjian internasional ke dalam hukum nasional harus melalui ratifikasi terlebih dahulu.

https://klinikhukumkalsel.com/

DAFTAR PUSTAKA

  1. Thontowi, Jawahir dan Pronoto, Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer Yogyakarta
  2. Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta
  3. Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, 2002
  4. Sugeng Istanto. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
  5. Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 1997,
  6. David J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1982,
  7. Arif, “pencemaran transnasional akibat kebakaran hutan di Indonesia dalam hubungannya dengan penerapan prinsip tanggung jawab negara” Tesis, 2000,
  8. Sharon Williams, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” 13 Univ. of Queensland L.J. (1984), h. 114-118 dikutip oleh Marsudi Triatmodjo,
  9. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002
  10. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2004

[1] Thontowi, Jawahir dan Pronoto, Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer Yogyakarta, april 2006 hal. 103

[2] Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 174

[3] Elizabeth A. Martin ed., A Dictionary of Law, Oxford University Press, New York, 2002, hlm 477

[4] Sugeng Istanto. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Halaman 77.

[5] Malcolm N. Shaw, International Law, Cambridge: Cambridge University Press, 1997, halaman 541.

[6] David J. Harris, Cases and Materials on International Law, London: Sweet and Maxwell, 1982, halaman 374.

[7]Malcolm N. Shaw, loc. cit.

[8] Arif, “pencemaran transnasional akibat kebakaran hutan di Indonesia dalam hubungannya dengan penerapan prinsip tanggung jawab negara” Tesis, 2000, h.48

[9] Sharon Williams, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” 13 Univ. of Queensland L.J. (1984), h. 114-118 dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, h. 177

[10] Sharon Williams, loc. cit.

[11] ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002

[12] Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm.15-18

tanggung jawab negara asap tanggung jawab negara asaptanggung jawab negara asap tanggung jawab negara asap tanggung jawab negara asap tanggung jawab negara asap tanggung jawab negara asap tanggung jawab negara asap

Mengapa Harus memilih KHK Law Office sebagai Advokat/Pengacara di Yogyakarta ?

  • Pelayanan Simple dan Cepat.
  • Expert/Ahli dan Terpercaya. Kami KHK Law Office telah berpengalaman dan tentunya ahli dibidangnya serta dapat dipercaya.
  • Harga Terjangkau dan layanan 24 Jam.  Dengan harga terjangkau, namun pelayanan tetap yang terbaik. Dan tentunya, layanan konsultasi  hukum 24 jam.
Selain itu, KHK Law Office juga melayani penanganan berbagai permasalahan hukum di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta lainnya seperti: Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Klaten, Kota Surakarta, Pengacara Jogja, Pengacara Yogyakarta, Pengacara Bantul, Pengacara Sleman, Pengacara Wates, Pengacara Kulon Progo, Pengacara Wonosari, Pengacara Gunungkidul, Pengacara Mungkid, Pengacara Magelang, Pengacara Klaten, Pengacara Surakarta, Pengacara Solo, Pengacara Semarang, Pengacara Purworejo, Pengacara Ngawi.

Hubungi Kami

Alamat Kantor : Komp. Pleret Asri E.6, Pleret, Bantul

Telp: 0813-5118-7743

WhatsApp : 0813-5118-7743